Green Financing dan Pembiayaan Proyek EBT : Untung Rugi Green Financing buat Transisi Energi

Di pertengahan Mei 2025 ini, kita semua menyaksikan bagaimana transisi menuju energi bersih dan terbarukan (EBT) bukan lagi sekadar wacana, tapi sudah menjadi sebuah gerakan global yang masif. Indonesia pun tak ketinggalan, dengan target-target ambisius untuk meningkatkan porsi EBT dalam bauran energi nasional. Namun, ada satu fakta fundamental yang perlu kita pahami: membangun proyek EBT, seperti Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) skala besar, ladang turbin angin, atau instalasi panas bumi, membutuhkan investasi awal yang luar biasa besar. Kita bicara soal triliunan Rupiah untuk satu proyek. Nah, dari mana datangnya dana sebesar itu? Di sinilah konsep “pembiayaan hijau” atau green financing menjadi semakin populer dan krusial.

Pembiayaan hijau pada dasarnya adalah berbagai jenis produk keuangan yang dirancang khusus untuk mendanai proyek-proyek yang memiliki dampak positif terhadap lingkungan. Dalam konteks EBT, ini bisa berupa “Green Bonds” (Obligasi Hijau) yang diterbitkan perusahaan di pasar modal, atau “Green Loans” (Pinjaman Hijau) yang diberikan oleh perbankan. Minat investor dan lembaga keuangan global maupun domestik terhadap instrumen pembiayaan hijau ini terus meningkat, seiring dengan tumbuhnya kesadaran akan pentingnya investasi berkelanjutan.

Apa Sih Bedanya ‘Green Bond’ dan ‘Green Loan’ dengan Utang Biasa?

Mungkin Anda bertanya, “Apa bedanya sih surat utang atau pinjaman ‘hijau’ ini dengan surat utang atau pinjaman bank yang biasa kita kenal?”. Perbedaan utamanya terletak pada tujuan penggunaan dana (use of proceeds). Jika pada surat utang atau pinjaman konvensional dana yang terkumpul bisa digunakan untuk berbagai keperluan perusahaan (misalnya modal kerja umum, ekspansi, dll.), pada Green Bond atau Green Loan, dana yang diperoleh wajib dialokasikan secara spesifik untuk membiayai atau membiayai ulang proyek-proyek yang memenuhi kriteria ‘hijau’. Kriteria ini biasanya mengacu pada standar atau taksonomi hijau yang diakui secara internasional maupun nasional, seperti proyek EBT, efisiensi energi, transportasi ramah lingkungan, atau bangunan hijau.

Selain itu, penerbit Green Bond atau debitur Green Loan biasanya memiliki kewajiban tambahan dalam hal transparansi dan pelaporan. Mereka harus secara berkala melaporkan bagaimana dana tersebut dialokasikan dan apa dampak lingkungan yang dihasilkan dari proyek yang didanai. Adanya verifikasi dari pihak ketiga independen (auditor lingkungan) juga sering menjadi syarat. Proses yang lebih ketat inilah yang memberikan keyakinan lebih bagi para investor atau kreditur bahwa dana mereka benar-benar digunakan untuk tujuan yang ‘mulia’ dan berkelanjutan.

Manfaat ‘Duit Hijau’ bagi Perusahaan Energi Terbarukan (Emiten) : Lebih dari Sekadar Citra Peduli Lingkungan

Bagi perusahaan energi terbarukan (emiten EBT), mendapatkan pembiayaan melalui skema ‘hijau’ ini tentu membawa sejumlah manfaat fundamental, bukan hanya sekadar polesan citra bahwa mereka peduli lingkungan.

Pertama, akses ke sumber pendanaan yang lebih luas dan beragam. Sejumlah besar investor institusi global, seperti dana pensiun, perusahaan asuransi, hingga manajer aset, kini memiliki mandat khusus untuk mengalokasikan sebagian portofolionya ke investasi hijau. Dengan menerbitkan Green Bond, emiten EBT bisa ‘mengetuk pintu’ kelompok investor baru ini yang mungkin sebelumnya tidak terjangkau. Hal yang sama berlaku untuk Green Loan dari perbankan yang punya komitmen pada pembiayaan berkelanjutan.

Kedua, ada potensi biaya modal yang sedikit lebih rendah. Karena permintaan terhadap instrumen investasi hijau sedang tinggi dan kadang dianggap memiliki profil risiko jangka panjang yang lebih baik (terutama untuk proyek dengan kontrak jangka panjang yang jelas), ada kemungkinan emiten bisa mendapatkan bunga (kupon untuk bond, atau suku bunga untuk loan) yang sedikit lebih kompetitif dibandingkan pendanaan konvensional. Selisih kecil sekalipun akan sangat berarti untuk proyek bernilai triliunan.

Ketiga, tentu saja peningkatan reputasi dan kepercayaan dari para pemangku kepentingan. Menerbitkan Green Bond atau mendapatkan Green Loan yang terverifikasi menunjukkan komitmen nyata perusahaan terhadap praktik bisnis berkelanjutan. Ini bisa meningkatkan citra perusahaan di mata konsumen, menarik talenta-talenta terbaik untuk bergabung, dan memperkuat hubungan dengan pemerintah serta masyarakat sekitar.

Keempat, adanya persyaratan alokasi dana yang spesifik dan pelaporan yang transparan sebenarnya bisa mendorong disiplin yang lebih tinggi dalam pengelolaan proyek dan keuangan perusahaan. Fokus menjadi lebih tajam pada proyek-proyek hijau yang memang layak secara ekonomi dan lingkungan.

Peran Penting Bank Nasional : Bank BNI & Mandiri Makin Agresif Salurkan Green Loan

Dukungan untuk pembiayaan proyek EBT tidak hanya datang dari pasar modal melalui Green Bond, tetapi juga sangat deras mengalir dari sektor perbankan. Ini adalah perkembangan yang sangat positif. Kita bisa melihat contoh nyata dari komitmen ini pada bank-bank besar milik negara. Misalnya, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI) dan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI) dalam beberapa tahun terakhir hingga pertengahan tahun 2025 ini, secara konsisten menunjukkan komitmen yang kuat dan semakin agresif dalam menyalurkan green loan atau pembiayaan yang masuk dalam kategori berkelanjutan. Angkanya tidak main-main, mencapai lebih dari 100 triliun Rupiah, yang dialokasikan untuk berbagai proyek EBT, pembangunan bangunan ramah lingkungan, manajemen limbah air, dan proyek-proyek lain yang mendukung ekonomi hijau.

Langkah proaktif dari BNI dan Mandiri ini sangat krusial untuk mempercepat transisi energi di Indonesia. Mereka tidak hanya menyediakan likuiditas yang sangat dibutuhkan oleh para pengembang proyek EBT, tetapi juga berperan dalam melakukan uji tuntas (due diligence) terhadap kelayakan proyek-proyek tersebut. Ini menunjukkan bahwa pembiayaan hijau bukan lagi sekadar konsep di atas kertas, melainkan sudah menjadi praktik bisnis yang nyata dan berkembang pesat di tanah air. Bagi emiten EBT yang memiliki fundamental kuat dan proyek yang solid, ini membuka peluang mendapatkan sumber pendanaan yang lebih beragam dan potensialnya lebih kompetitif.

green financing BBNI BMRI

Struktur Pendanaan Proyek EBT : Memahami Bagaimana ‘Duit Hijau’ Dipakai dan Risikonya

Proyek-proyek EBT skala besar, seperti PLTS atau PLTB, umumnya didanai menggunakan skema project finance atau pembiayaan proyek. Artinya, kelayakan pendanaan lebih didasarkan pada kemampuan proyek itu sendiri untuk menghasilkan arus kas di masa depan (misalnya dari penjualan listrik ke PLN), bukan semata-mata pada neraca keuangan perusahaan induk secara keseluruhan. Dalam skema ini, biasanya akan dibentuk satu perusahaan bertujuan khusus (Special Purpose Vehicle/SPV) untuk menjalankan proyek tersebut.

Struktur pendanaannya biasanya merupakan kombinasi antara utang (debt) dan modal sendiri (equity). Porsi utang bisa cukup besar, misalnya 70-80% dari total biaya proyek, sementara sisanya dari modal perusahaan. Green Bond atau Green Loan tadi masuk dalam kategori utang. Nah, dalam perjanjian utang ini, biasanya ada berbagai covenants atau janji-janji yang harus dipenuhi oleh perusahaan selama masa pinjaman. Contohnya, perusahaan harus menjaga rasio keuangan tertentu (seperti Debt Service Coverage Ratio/DSCR, yang mengukur kemampuan membayar cicilan utang), harus menyelesaikan proyek tepat waktu, atau khusus untuk pembiayaan hijau, harus memenuhi target-target lingkungan tertentu dan melaporkannya secara berkala.

Klik disini untuk Konsultasi Investasi Saham 1-On-1

Risiko Fundamental dari Ketergantungan pada Green Financing

Meskipun banyak manfaatnya, ada beberapa aspek risiko atau pertimbangan fundamental yang perlu diwaspadai oleh emiten (dan juga investornya) terkait pembiayaan hijau ini:

Pertama, biaya kepatuhan dan pelaporan tambahan. Untuk memastikan dana benar-benar digunakan untuk proyek hijau dan dampaknya termonitor, biasanya ada persyaratan audit, verifikasi, dan pelaporan yang lebih detail dibandingkan utang konvensional. Ini tentu menambah beban biaya administrasi bagi perusahaan.

Kedua, risiko reputasi jika terjadi ‘greenwashing’ atau ketidaksesuaian. Jika sebuah perusahaan menerbitkan Green Bond tapi ternyata dana tersebut disalahgunakan untuk proyek yang tidak ramah lingkungan, atau jika dampak lingkungan yang dilaporkan tidak sesuai kenyataan, ini bisa menghancurkan reputasi perusahaan dan kepercayaan investor/kreditur. Sanksi pun bisa menanti.

Ketiga, potensi ketergantungan pada insentif atau kondisi pasar khusus untuk instrumen hijau. Jika kelayakan ekonomi sebuah proyek sangat bergantung pada bunga pinjaman hijau yang lebih murah atau insentif pemerintah tertentu, bagaimana jika kondisi pasar berubah, suku bunga umum naik, atau insentif tersebut dicabut? Perusahaan harus memastikan fundamental proyeknya tetap kuat bahkan tanpa ‘keistimewaan’ hijau tersebut.

Keempat, risiko proyek itu sendiri tetap ada. Meskipun didanai dengan ‘duit hijau’ yang mungkin terasa ‘lebih baik’, risiko fundamental dari proyek EBT seperti kegagalan teknologi, keterlambatan konstruksi, masalah operasional, atau bahkan risiko kontrak dengan pembeli listrik (misalnya jika PLN menunda pembayaran) tetap harus dikelola dengan baik oleh perusahaan. Sumber pendanaan ‘hijau’ tidak otomatis menghilangkan risiko-risiko bisnis inti ini.

Buat Investor Saham Pemula : Apa yang Perlu Diperhatikan dari Struktur Pendanaan Emiten EBT?

Sebagai investor saham pemula yang tertarik pada emiten EBT, ada baiknya Anda juga sedikit memperhatikan bagaimana perusahaan tersebut mendanai proyek-proyek hijaunya:

  • Lihat Komposisi Utang: Berapa besar porsi utang ‘hijau’ (Green Bond/Loan) dalam total struktur utang perusahaan? Apakah sumber pendanaannya terdiversifikasi?
  • Cermati Syarat dan Ketentuan Utang: Jika informasinya tersedia, coba pahami berapa tingkat bunga atau kuponnya, kapan jatuh temponya, dan adakah covenants penting yang bisa mempengaruhi operasional atau keuangan perusahaan jika dilanggar. Apakah syaratnya memberatkan?
  • Pastikan Penggunaan Dana Produktif: Apakah dana dari pembiayaan hijau tersebut benar-benar dialokasikan untuk proyek-proyek EBT yang jelas, punya potensi menghasilkan arus kas yang baik, dan didukung oleh kontrak PPA yang kuat?
  • Nilai Komitmen dan Rekam Jejak ESG Perusahaan: Jangan hanya lihat label ‘hijau’ pada pendanaannya. Bagaimana komitmen perusahaan secara keseluruhan terhadap praktik ESG? Apakah mereka punya rekam jejak yang baik dalam menjalankan proyek dan memenuhi standar lingkungan?
green financing

Mau belajar saham lebih lanjut? Yuk kunjungi Channel YouTube Todopedia untuk video-video investasi terbaru !!

Kesimpulan : Green Financing Itu Penting, Tapi Fundamental Inti Bisnis Tetap Jadi Patokan Utama

Tidak diragukan lagi, Green Bonds dan Green Loans adalah inovasi pembiayaan yang sangat positif dan memainkan peran penting dalam mengakselerasi transisi menuju ekonomi rendah karbon, termasuk di Indonesia. Meningkatnya partisipasi bank-bank besar seperti BNI dan Mandiri dalam menyalurkan pembiayaan hijau juga menjadi sinyal kuat akan semakin matangnya pasar ini. Bagi emiten EBT, akses ke ‘duit hijau’ ini bisa memberikan banyak keuntungan strategis.


Baca Artikel Lainnya